About Me

Subscribe now!Feeds RSS

Latest posts

Other Things

Wednesday, March 02, 2005

cover both side

1 comments

first of all, i want to say sorry, this writing will be in indonesia. hal ini karena semata-mata untuk memudahkan pembaca mencerna isi dari tulisannya yang mana bila jika saya tulis dalam bahasa inggris, due to my limitation in english, akan semakin mempersulit pencernaan. yang mana juga pada intinya keterbatasan bahasa asing saya terbatas yang mana sehingga jika dipaksakan akan mempursulit juga diri saya. sehingga bilamana ditulis dalam bahasa indonesia, mudah2an bisa dipahami.
sehingga yang mana cukup sekian basa-basi ngalor-ngidul standar para politikus kita saya tiru. (koq jd pusing sendiri yah). well, here it is. hope you enjoy it.
-----------------------------------
cover both side

Istilah yang cukup familiar di dunia jurnalistik. Secara sederhana bisa saya artikan, meliput dari dua sudut pandang yang berbeda/berlawanan. Ternyata dalam hemat saya, kode etik ini tidak hanya berlaku dalam dunia jurnalisme. Tapi juga dalam setiap pola pandang kita terhadap suatu isu atau permasalahan. Bagi saya yang merasa masih perlu banyak belajar dalam segala hal, pola seperti ini sangat mudah dilakukan karena saya sendiri hampir selalu tidak pernah punya sikap terhadap sesuatu hal yang bersifat kontroversial. Yang saya lakukan hanyalah menjad pengamat yang menelan segala informasi dari berbagai pihak untuk kemudian menjadi referensi pribadi.

Dalam pengamatan saya, untuk segala hal yang bersifat kontradiksi, baik itu ideologi, pemahaman kejadian, dsb, pada akhirnya akan menciptakan kubu-kubu yang saling bertentangan dengan argumen masing-masing yg kuat. Setiap kubu tidak mungkin akan terpengaruh oleh kubu lainnya, karena segala kepentingan sudah bercampur aduk. Saya memandang positif perbedaan seperti ini, karena itu adalah anugerah dan juga karena perbedaan itu dilatarbelakangi oleh landasan berpikir yang jelas. Celakanya, pemahaman secara nalar yang kuat hanya dimiliki oleh para petinggi kubu-kubu itu. Pada tingkat 'grassroot', argumen-argumen mereka sudah didominasi oleh perasaan. Bukan lagi nalar (seperti halnya yg menjadi paradigma dari petinggi-petinggi itu).

Kenapa itu bisa terjadi? Atau, kenapa landasan berpikir antara grassroot berbeda dengan elit-nya? Sejauh pemahaman saya hingga saat ini, hal ini dikarenakan kaum grassroot 'melupakan' proses berpikir atau proses penerjemahan ide-ide itu hingga akhirnya menjadi sebuah sikap/gerakan. 'pelupaan' itu bisa dikarenakan kesengajaan para elite atau ketidakmampuan para elite untuk menerjemahkan nilai-nilai yang terkandung kepada grassrootnya. Akibatnya, pada tataran teknis hal tersebut bisa merembet ke berbagai hal. sehingga mungkin saja suatu tindakan para grassroot itu yang niat awalnya melaksanakan nilai-nilai/visi leluhurnya, malah melenceng dari visi/nilai-nilai yang dibawa leluhurnya itu.

Gejala-gejala seperti ini sudah saya lihat dengan jelas sekali di masyarakat kita. Sebagai contoh kasus, ada dua kejadian yang akan saya paparkan. studi kasus pertama adalah tentang sejarah pembantaian PKI. tentang hal ini, saya membaginya dalam dua fase. fase pertama adalah sejarah pembantaian PKI sebelum tahun 1965. Pada fase ini saya yakin hampir semua pembaca tau detailnya, semuanya terkuak (atas jasa orde baru). Pada fase ini pula, memori kita langsung menjadi sangat jelas, tertuju pada kekejaman PKI dalam berbagai pembantaian yang dilakukannya dan puncaknya adalah peristiwa G 30 S / PKI. Bahkan untuk lebih mempertajam memori kita, setiap tahunnya, sebelum terjadi reformasi, film ini diputar di TV. Semua orang langsung setuju akan kekejaman PKI (sekali lagi, ini atas jasa orde baru).

Fase kedua adalah sejarah pembantaian PKI setelah tahun 1965. berapa banyak dari pembaca yang tau sejarah PKI setelah tahun 1965? saya yakin sedikit sekali (yang ini juga atas jasa orde baru). saat itu, setelah 1 oktober 1965, perintah dari pusat langsung diturunkan. babat habis PKI sampai ke akar-akarnya! Di lapangan pembabatan pun terjadi. Semua orang yang ada kaitannya dengan PKI dibantai. Bahkan para petani, anak kecil, wanita, nelayan yang sebelumnya berhasil dikelabui oleh PKI dan tidak tahu menahu tentang apa itu ideologi, apa itu pemikiran, apa itu landasan negara! Banyak versi tentang jumlah innocent victims ini, ada yang menyebutkan ratusan ribu, bahkan ada yang mengatakan satu juta lebih org yg tidak tau apa2 terbunuh (ini juga atas jasa orde baru). Dampaknya apa? Bagi saya cukup jelas, sikap inferior atas kedigdayaan PKI atau komunis yang terlalu dibesar2kan. Juga sedikit banyak, berpengaruh atas pola berpikir kita atas kejadian-kejadian yang terjadi selanjutnya.

Studi kasus kedua adalah adalah tentang palestina. Kekejaman israel terhadap bangsa palestina telah membangkitkan amarah banyak pihak. Di indonesia, banyak pihak yang melakukan berbagai gerakan untuk melawan itu. Pada dasarnya saya sangat setuju bahwa kita harus membela palestina. tapi satu hal yang saya tidak setuju, pola pikir mayoritas orang yang berpikir tentang itu tidak komphrehensif. Pergerakan-pergerakan yang terjadi hanya melihat dari sisi fisik saja. setiap pihak pasti tau tentang HAMAS dan segala sepak terjangnya untuk melawan israel pada salah satu sisi. tapi berapa banyak yang mengenal Edward W. Said orang kristen-palestina-aktivis-intelektual yang terusir dari negerinya sendiri (baca:palestina) tapi dia memberikan perlawanan yang sesuai dengan cara yang dia yakini? Pasti sedikit sekali! Kegelisahan saya dalam hal ini adalah setiap org tidak berpikir menyeluruh atas dasar humanis dalam memandang persoalan ini, tapi kebanyakan simbolis.

Di Amerika, Edward Said adalah seorang intelektual raksasa yang dikenal oleh para cendekiawan dunia. Seorang aktivis yang juga kolumnis berhasil menyadarkan kaum intelektual amerika dan dunia untuk berpihak memperjuangkan dan membela palestina. Tapi di kalangan pembela palestina Indonesia, ia nyaris tidak dikenal. Cara dia memperjuangkan palestina lah yang bisa dimengerti oleh para intelektual dunia. bukunya dia tentang bagaimana peran media barat dalam ketidakadilan pemberitaan tentang Islam disana (covering Islam, 1987), buku yang menggambarkan masa kecil dia di palestina, serta buku lainnya yang dia tulis seharusnya menjadi salah satu referensi bagi kita dalam memandang persoalan ini. Karena cara-cara 'standar' yang saat ini banyak didengungkan, tidak bisa menyentuh kalangan elit. sekali lagi, satu2nya hal yang menjadi kegelisahan bagi saya adalah, pemahaman pada tingkat grassroot tidak pernah mencapai pada titik yang komphrehensif.

Pada akhirnya, saya pkir sangat penting sekali untuk mengembangkan kedewasaan kita dalam menyikapi/melihat segala sesuatu tidak hanya dari kacamata 'bos' yang kemudian diadaptasi mentah-mentah oleh kita. Dan jalan menuju kedewasaan bukanlah jalan singkat dan mulus tapi jalan terjal yang butuh perjuangan dan ketekunan untuk selalu belajar melalui membaca, diskusi, dsb dengan tidak hanya bereferensi dari satu sisi yang kita dukung dari awalnya, tapi juga dari referensi 'lawan-lawan' kita. Sekali lagi, cover both side!

bagaimana komentar anda?

Comments
1 comments
Do you have any suggestions? Add your comment. Please don't spam!
Subscribe to my feed
Dicky S said...

Nice post. Keep rockin!

Jangan lupa berkunjung balik yaaa.

Dicky S

Post a Comment